Aktif dalam menulis cerita fiksi dan opini.

Neraka di Desa Nirawangi—Part 1: Menuju Kegelapan.

Selasa, 11 Maret 2025 09:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Neraka di Desa Nirawangi
Iklan

Dulu Desa Nirawangi seperti surga dunia. Kini berubah jadi neraka. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Namaku Jayengpati Suryawira, biasa dipanggil Jaya. Aku adalah seorang penulis lepas yang tinggal di Desa Nirawangi. Secara administrasi, desa ini masuk wilayah Kota Mandalawening, sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan timur Kota Besar. Sedangkan untuk lokasi Desa Nirawangi sendiri berada di perbatasan langsung dengan Kota Besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut orang-orang yang pernah mengunjunginya, tempat itu seperti lukisan alam yang hidup dan meneduhkan batin. Jika kalian datang ke sana, kalian bisa melihat hamparan sawah hijau segar; pepohonan tinggi menjulang yang tumbuh padat; perkebunan subur yang menyebar di berbagai titik desa.

Dibalik keindahan tersebut, sebagian besar penduduknya hidup di garis kemiskinan. Sangat sedikit dari mereka yang mengenyam pendidikan dasar, karena biayanya yang mahal dan hanya ada satu sekolah di desa ini, sehingga itu menjadi tempat yang eksklusif. Mayoritas para warga desa juga menganggap mengenyam pendidikan bukanlah hal prioritas, selain bekerja membantu orang tua demi menghasilkan lebih banyak uang untuk menyambung hidup.

Namun keluargaku memiliki pandangan yang berbeda dari mereka, dan terbilang cukup beruntung secara finansial berkat usaha toko kelontong yang diwariskan secara turun-temurun. Kedua orang tuaku sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan. Mereka bilang bahwa dengan meraih pendidikan setinggi mungkin, kelak ilmu yang kudapat bisa membantu usaha mereka, atau disumbang demi kemajuan desa atau kesejahteraan para warganya.

Oleh karena itulah, aku berhasil menamatkan pendidikan hingga ke tingkat sarjana. Lalu, aku memulai karier sebagai jurnalis lepas bidang lingkungan hidup dan pariwisata untuk sebuah media lokal di Jayaprasasti. Jam kerja yang dinamis dan tidak ada aturan wajib kerja di kantor setiap hari, aku bisa bekerja dari rumah sambil membantu orang tuaku menjaga toko. 

Aku memilih karier itu karena ada tujuan mulia, seperti memperkenalkan desaku sebagai destinasi alternatif wisata alam terbaik, sekaligus menjaga kerusakan lingkungan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Namun, tantangan mulai datang ketika seorang pejabat bernama Wiradipa Kusnandar, atau sering dipanggil Pak Wira, menjabat Wali Kota Mandalawening. Dia adalah seorang pebisnis mebel yang pernah tersandung kasus manipulasi pajak dan penggelapan dana perusahaan, sehingga dia dihukum penjara selama 5 tahun. Tetapi, berkat interelasi dengan para tokoh besar, dia hanya menjalani hukuman kurang dari dua tahun.

Kemenangan Pak Wira sebagai wali kota bukanlah kemenangan yang mulia. Dia berhasil menyogok para warga—terutama warga Desa Nirawangi—dengan sumbangan berupa uang tunai dan bahan-bahan pokok dengan selipan rayuan untuk memilihnya. Pak Wira juga memanfaatkan relasinya dengan para pengusaha besar di bidang media dan periklanan, sehingga dia berhasil menguasai media sosial dengan segala pencitraan dangkal—seperti joget viral dan dokumentasi aktivitas dirinya dengan efek filter yang norak.

Platform yang menjadi media utama dari kampanyenya adalah Chimpee. Platform itu memiliki fitur unggulan berupa video pendek berdurasi kurang semenit yang bisa dihias dengan efek-efek tertentu dan lagu-lagu yang sedang tren di kalangan masyarakat. Walaupun platform ini adalah salah satu terfavorit di kalangan masyarakat luas, namun tidak sedikit yang membencinya karena banyak konten hoax, ujaran kebencian atau provokasi, hingga pernyataan-pernyataan disabilitas intelektual. Ditambah lagi, mayoritas penggunanya adalah mereka yang berpendidikan rendah, sehingga sangat rentan termakan berita bohong dan terhasut untuk melakukan hal yang meresahkan. Ironisnya untuk mayoritas penduduk Mandalawening, Chimpee adalah hiburan utama mereka.

Oleh sebab itulah, Chimpee menjadi ladang subur bagi para Fans untuk melempar pujian fanatik dan propaganda demi membangun citra Pak Wira yang bersih dan dicintai oleh banyak orang—cenderung seperti mengultuskannya. Tidak begitu jelas, apakah mereka pendukung fanatik atau orang bayaran, yang pasti tindakan mereka sangat meresahkan untuk sebagian kalangan. Para Fans tidak segan melakukan cyberbullying dan pembunuhan karakter terhadap pihak yang bertentangan atau mengkritisi Pak Wira—agar publik termanipulasi dan meragukan kredibilitasnya.

Meski kampanye Pak Wira di Chimpee sangat kencang, tapi tim relawan atau para Fans tidak pernah mengangkat program kerjanya jika terpilih nanti. Bahkan, dia sendiri tidak pernah mengangkat atau mengkampanyekan ide gagasannya. Dia selalu menghindari acara diskusi atau debat terbuka dengan para akademisi. Alhasil, masyarakat—khususnya warga Desa Nirawangi—hanya mengenal Pak Wira sebagai pemimpin dermawan dan popularitasnya di media sosial, terkhusus di Chimpee.

****

Setelah Pak Wira menjabat Wali Kota Mandalawening, dia langsung meresmikan proyek pembangunan jalan tol ke Kota Besar dengan intensitas tinggi. Desa Nirawangi menjadi tempat yang terkena dampak langsung dari proyek ini, karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Kota Besar.

Awal-awal warga desa tidak mempermasalahkan, karena proses pembangunan jalan tol masih dilakukan secara baik-baik dan mengambil di beberapa titik tempat yang tidak terlalu berdampak bagi mata pencaharian mereka. Akan tetapi, ketika memasuki tahun kedua, pembangunan jalan tol semakin menjamur dan dilakukan semakin ugal-ugalan. Banyak warga yang tiba-tiba mendapati lahan sawah atau kebunnya sudah dipagari dan diuruk tanpa sosialisasi yang memadai. Ketika mereka mengajukan protes, orang-orang perwakilan wali kota hanya menjanjikan uang ganti rugi.

Namun, janji hanyalah janji. Uang kompensasi yang dijanjikan dibagi tidak menyeluruh—tentu dengan nominal yang rendah—tapi lebih banyak warga yang tidak mendapatkannya. Hal itu terus berlangsung hingga bulan-bulan berikutnya, sampai kejengkelan warga mencapai titik puncak. Apalagi Pak Wira juga tampak acuh tak acuh dan enggan menginjakkan kakinya di Desa Nirawangi setelah menjabat, kecuali saat acara peresmian jalan tol dan itu hanya sekali.

Para warga mulai melakukan pertemuan di balai desa setiap malam, untuk mendiskusikan kejengkelan sekaligus keresahan mereka bersama kepala desa, atau sering dipanggil Pak Kades. Sampai akhirnya mereka mencapai kesimpulan untuk melakukan protes besar. Mereka merancang rencana berdemo di depan kantor Wali Kota Mandalawening sampai Pak Wira mau mengabulkan tuntutan-tuntutan mereka, seperti pemberian uang kompensasi yang sesuai dengan yang dijanjikan dan adanya sosialisasi sebelum menggusur lahan warga. Beberapa warga yang mempunyai smartphone berinisiatif mengabadikan momen para kru proyek memagari dan mengeruk tanah warga, sambil menceritakan perihal yang sedang terjadi, terus diupload ke media sosial.

Tetapi saat menjelang hari pelaksanaan, para warga membatalkan aksinya secara mengejutkan. Aku jadi bertanya-tanya dan mencari tahu penyebabnya. Selama penyelidikan ini, banyak warga yang menutup mulut sehingga aku harus melakukan pendekatan yang halus dan cermat agar bisa mengambil hati mereka—sampai akhirnya beberapa di antara mereka memberanikan diri untuk bersaksi.

Tampaknya rencana aksi demo di depan kantor Wali Kota Mandalawening telah bocor ke telinga Pak Wira. Alhasil, ada sekelompok orang tak dikenal mendatangi rumah Pak Kades. Tidak jelas apa yang dilakukan oleh mereka, yang pasti setelah kejadian itu Pak Kades segera menarik diri dan melarang para warga untuk berdemo. Beberapa warga desa yang menjadi inisiator juga mengalami peristiwa serupa, sampai-sampai mereka berubah jadi pasif. Untuk beberapa orang warga yang mengabadikan momen penyegelan dan pengerukan lahan secara ilegal, tiba-tiba mereka menurunkan video-videonya. Kemudian mereka mengunggah video klarifikasi dan permintaan maaf secara publik, bahwa mereka khilaf dan telah mencemarkan nama baik Desa Nirawangi sekaligus Pak Wira sebagai Wali Kota Mandalawening. 

Fenomena ini membuat banyak warga desa jadi bingung, takut, dan tidak berdaya. Walhasil, demi keselamatan diri dan orang-orang terdekat, mereka memilih jalan pragmatis dan permisif. Semenjak itu, balai desa jadi sepi seperti sediakala. Para warga tidak lagi berani berkumpul. Semua kejengkelan dan keresahan mereka pendam sedalam-dalamnya, dan pasrah kepada Tuhan.

**** 

Seiring berjalannya waktu, pembangunan jalan tol kian marak dan tidak beraturan. Mereka saling tumpang tindih dengan desain abstrak yang cacat. Mereka semua mulai menggantikan sawah-sawah hijau, pepohonan tua yang melengkung rantingnya, dan kebun-kebun teduh. Setiap kali ada lahan hijau yang kosong, tidak lama kemudian sudah dipagari dan diuruk jadi bagian dari proyek jalan tol—tanpa peduli tempat itu bertuan atau tidak. Seakan-akan para pengembang yang bekerjasama dengan pemerintah daerah kota sangat alergi dengan zona hijau, dan lebih suka dengan dinding-dinding beton yang suram dan dingin.

Nyaris tidak ada keindahan alam yang tersisa. Semua telah tergantikan oleh hiruk-pikuk proyek pembangunan jalan tol yang tiada henti dan terus berjalan selama 24 jam penuh. Udara sejuk yang biasa kuhirup di pagi hari, kini hanyalah udara yang penuh debu. Bahkan cakrawala biru yang biasa menyelimuti panorama desa, kini terhalang oleh beton-beton dan alat-alat berat proyek yang menakjubkan. Hari-hari yang menyengsarakan ini, aku jadi sulit beraktivitas di luar rumah, akibat banyak jalan utama yang ditutup atau dialihkan karena proyek menyebalkan ini. 

Banyak warga desa yang berprofesi sebagai petani dan pekebun yang kehilangan mata pencaharian mereka, akibat sawah dan kebunnya diambil secara paksa oleh para kontraktor yang didukung oleh pemerintah daerah kota. Lebih buruknya lagi, tidak sedikit rumah warga yang kena gusur dengan alasan serupa, sehingga banyak dari mereka jadi pengangguran dan tunawisma di waktu bersamaan. Kini, mereka mengumpulkan bahan seadanya—kayu, batu, sampah, dan benda-benda lainnya—untuk dirakit jadi tenda kecil atau gubuk sebagai tempat tinggal di beberapa sudut desa. Bagi warga desa yang beruntung dan nekat, mereka memilih kabur ke daerah lain demi mengadu nasib sekaligus mencari tempat tinggal lebih layak—tapi itu tidak banyak jumlahnya.

Walaupun rumah sekaligus toko kelontong kedua orang tuaku masih aman dari penggusuran, tapi ada dampak lain yang kami tanggung. Jika dulunya rumah kami dikelilingi oleh sawah dan kebun, kini diganti oleh pilar-pilar beton dan aktivitas proyek yang berisik selama 24 jam penuh. Di sisi lain, mayoritas pelanggan setia toko kelontong kami banyak yang jadi pengangguran dan tunawisma, sehingga mereka memilih berhutang atau mengharapkan belas kasihan saat berkunjung ke toko kelontong kami.

Awalnya kedua orang tuaku masih berbelas kasih kepada mereka. Setidaknya selama empat minggu lamanya; sampai pemasukan kami menurun drastis, sehingga mereka dengan berat hati memutuskan berhenti membantu—sebab kami juga butuh pemasukan untuk membeli stok barang dagangan atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aku mulai memikirkan rencana untuk pindah desa bersama kedua orang tuaku. Namun itu tidak mudah. Toko kelontong keluargaku adalah warisan turun-temurun dari pihak Ayah, sehingga memiliki nilai sentimental dengan para leluhur. Ditambah aku belum dapat tempat yang tepat di luar desa untuk tinggal serta membuka kembali usaha toko kelontong keluargaku.

****

Kekacauan ini membuatku murka, dan keinginan untuk mengangkat isu ini ke publik. Jangan berpikir aku belum pernah mengangkatnya! Aku sudah membuat berita seputar isu ini sebanyak 5 kali; tapi publik tampaknya belum antusias dan teralihkan dengan isu-isu lain yang lebih sensasional, seperti kasus investasi bodong, pembunuhan tokoh ternama, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kali ini aku melakukan pendekatan yang berbeda—lebih humanis dan penyampaian ala storytelling. Dalam tulisanku, aku secara keras mengkritisi proyek pembangunan jalan tol di Desa Nirawangi yang destruktif. Aku mengecam keras Pak Wira—selaku wali kota yang meresmikan proyek pembangunan jalan tol—dia terkesan tidak acuh terhadap masalah ini, terutama nasib para warga yang terkena imbasnya.

Setelah tulisanku terbit, akhirnya publik mulai melirik isu ini. Banyak dari kalangan akademisi, aktivis, hingga para tokoh masyarakat yang bersimpati. Tidak sedikit dari mereka yang turun ke lapangan untuk menyelidiki atau melihat langsung peristiwa di Desa Nirawangi. Dari situlah, mereka mulai menyuarakan keprihatinan ke publik dan media mulai menyorotinya.

Pak Wira sempat didatangi oleh para wartawan untuk diwawancarai. Tetapi dia hanya menjawab bahwa dia tidak tahu-menahu soal permasalah di Desa Nirawangi dengan cengengesan, lalu meminta para wartawan untuk menanyakan langsung ke pihak yang mengkritisinya.

Kemudian, muncul perlawanan dari para Fans Pak Wira, dengan membangun narasi yang memutarbalikkan fakta—bahwa pembangunan tol itu tidak mengorbankan warga desa dan diselingi puji-pujian yang memuakkan—di Chimpee. Meski narasi itu berhasil dilawan oleh pegiat media sosial lainnya, tapi gejolak masih berlanjut. Sayangnya, mayoritas penduduk di Desa Nirawangi adalah pengguna Chimpee, sehingga tidak sedikit dari mereka termakan berita hoax dari para Fans dan terprovokasi untuk menyerang pihak yang sebenarnya berusaha membantu mereka—meski ada banyak yang memilih apatis. Walhasil, kegaduhan di media sosial kian menjadi-jadi dan semakin panas. 

Hal ini berlangsung selama seminggu, sampai para Dewan Perwakilan Masyarakat di Kota Besar mengesahkan Undang-Undang Pengawasan Informasi Publik (UUPIP) secara sepihak. Undang-undang tersebut dibuat dengan dalih memerangi hoax, tapi isi pasalnya justru membatasi ruang gerak jurnalis—khususnya jurnalis investigasi—maupun para akademisi, podcaster, content creator atau pihak-pihak yang gemar mengangkat isu sosial, politik, dan sebagainya ke media sosial.

Dengan pasal-pasal ketat tapi karet, UUPIP mewajibkan para jurnalis, akademisi, podcaster, content creator dan sebagainya untuk mendapat persetujuan dari lembaga pengawas sebelum mempublikasikan tulisan atau isi konten mereka; membocorkan semua nama narasumber yang digunakan; dan mengizinkan pemerintah untuk menarik publikasi dengan alasan meresahkan publik. Selain itu, media yang dianggap menyebarkan informasi sensitif—maksudnya terlalu kritis—maka bisa dikenakan denda besar atau dicabut izinnya. Jika hal itu dilakukan oleh pihak independen, maka mereka bisa dipidana.

Di waktu yang bersamaan, di Desa Nirawangi kedatangan beberapa truk berisi bantuan sosial seperti sembako. Banyak dari warga desa yang kegirangan saat melihat itu, sehingga mereka segera menyerbu truk-truk tersebut. Bahkan ada yang sampai berebutan. Sebab, bagi para warga desa yang sudah melarat akibat proyek pembangunan jalan tol, tentu mendapatkan bahan pokok adalah hal yang sangat membahagiakan—bahkan mereka sampai menangis kegirangan. Momentum tersebut, tentu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para Fans untuk membantah isi tulisanku, sehingga perlahan timbul keraguan di publik.

Berkat segala intrik dan tekanan, akhirnya tulisanku ditarik dari peredaran dan dilarang terbit dengan dalih tidak mempunyai bukti yang sudah diverifikasi oleh pemerintah—meski ini lebih mirip penyangkalan—dan mengakibatkan konflik. Para akademisi, aktivis, dan para tokoh lainnya yang mendukung tulisanku, mereka dipermasalahkan secara hukum karena dianggap membantu menyebarkan berita hoax

Kemenangan ini lantas dirayakan oleh para Fans di Chimpee. Mereka mulai menyebarkan narasi jelek tentangku tanpa didasari bukti autentik dan tidak nyambung; seperti anggota kelompok anarkis, pecundang, pemabuk, orang gila, pedofilia, kaum yang menyimpang, pengangguran, hingga keturunan dari anggota Kelompok Merah yang sudah dimusnahkan lebih dari 50 tahun yang lalu. Walaupun begitu, publik terutama warga Desa Nirawangi percaya begitu saja dengan narasi tersebut, sehingga mereka terhasut untuk membenciku.

Beberapa warga ikut membantu para Fans dengan membagi atau menyebarkan informasi pribadiku ke media sosial, termasuk toko kelontong milik kedua orang tuaku. Lantas, kami jadi sering mengalami berbagai macam teror seperti dilempari batu oleh orang tak dikenal, hingga didatangi oleh segerombolan orang yang mengancam akan mencelakai keluarga kami jika aku berbuat macam-macam lagi. Kejadian itu membuat Ibu jadi paranoid untuk bepergian sendiri keluar rumah. Sedangkan Ayah jadi marah dan menyalahkanku atas kejadian ini—sampai-sampai terjadi pertengkaran kecil di antara kami, tapi berhasil dipisahkan oleh Ibu.

Media tempatku bekerja juga mengalami hal serupa. Para warganet melakukan cancel culture dengan berlomba-lomba memberikan bintang satu di review aplikasi dan internet sambil mencemoohnya. Ditambah dengan rekaman video aksi nyata seperti merusak dan membakar majalah-majalah terbitan mediaku. Mulanya ini hanya dilakukan oleh para Fans di Chimpee. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak pihak yang tergoda untuk ikutan—setidaknya ikut mengata-ngatai di kolom komentar—seolah menjadi tren baru di media sosial. Pemasukan dari penjualan terus menurun; banyak sponsor menarik diri; bahkan didatangi oleh sekelompok orang tak dikenal untuk mengintimidasi; semua itu membuat kantorku terpaksa memutus hubungan kerja denganku.

****

Bagikan Artikel Ini
img-content
Elnado Legowo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua